Sudahkah kita mengenal diri sendiri ?
#1
Sun Tzu pernah berkata, “Kenalilah diri mu, kenalilah musuhmu, maka kau tak akan takut melalui seratus pertempuran tanpa kekalahan.” Boleh jadi, kumpulan frasa di atas terasa sederhana. Akan tetapi, acapkali, kita merasa bingung dan kesulitan dalam mengenali diri kita sendiri. Berkaca pada hal-hal di atas, esai ini hadir untuk memperkenalkan beberapa teori di dalam psikologi terkait latar belakang di balik ekspresi seorang manusia bersikap.
Di dalam dunia akademik, terdapat berbagai pandangan yang mendefinisikan psikologi melalui paradigma-paradigma yang beragam. Salah satu definisi yang mendasar berasal dari Watson. Dia menyatakan bahwa psikologi merupakan kajian yang membahas interaksi manusia. Kemudian, Hary menerangkan bahwa psikologi adalah studi ilmiah tentang pengalaman dan perilaku individu dengan kelompok, pelaku, dana tau kebudayaan lain. Lebih holistik lagi, Barron dan Bernand mengungkapkan bahwa studi ini merupakan bidang ilmiah yang mencari pengertian tentang hakekat dan aneka sebab dari perilaku dan pikiran-pikiran individu dalam situasi sosial. Psikologi adalah ilmu yang mempelajari mengenai kejiwaan. Dia mempelajari beberapa aspek, salah satunya adalah perasaan. Gembira, sedih, frustasi, dan stress adalah secuplik dari kajian Psikologi. Lebih lanjut, kajian ini juga mengkaji perilaku dan sikap manusia sebagai implikasi dari perasaan-perasaan yang terekspresi dari jiwa manusia.
Terkait kajian yang disampaikan oleh Barron dan Bernand, telah hadir aneka teori yang melatar-belakangi kajian sebab-akibat di balik ekspresi seseorang. Pertama, Teori Psikoanalisis yang diungkapkan oleh Sigmund Freud. Dia memandang bahwa manusia hidup dalam dunia yang berjalan secara refleks atau naluriah. Mereka digerakkan oleh dua macam insting, yaitu Eros dan Tanotos. Eros merupakan naluri untuk melangsungkan kehidupan. Di dalam naluriah ini, umat manusia memiliki kecenderungan untuk mempertahankan dan melangsungkan kehidupan mereka, setidaknya secara minimal, mereka dapat hidup. Tanpa ditanya ataupun diminta, tatkala seseorang mengalami kelaparan yang amat melilit perut atau terdapat bagian tubuhnya yang terkena panasnya api, maka secara naluriah dia akan mencoba untuk menghindari kejadian-kejadian di atas. Sebaliknya, Tanotos merupakan insting yang hadir di dalam diri manusia untuk mendistraksi atau menghancurkan diri mereka sendiri. Pada paradigma ini, ketika sudah tidak ada jalan keluar lain dan berada di tengah-tengah keputusasaan dan frustasi untuk dapat keluar, seorang manusia akan membenarkan perilaku lari dari masalah dengan cara menghancurkan dirinya sendiri. Boleh jadi, ini menjadi lucu secara nalar, akan tetapi, salah satu bukti riil bahwa Tanotos ini memang ada di dalam kehidupan terletak pada hadirnya peristiwa gantung diri dan bunuh diri di masyarakat. Seseorang yang cenderung untuk menganggap remeh dirinya sendiri atau malah melukai dirinya sendiri karena tekanan hidup pun juga merupakan beberapa sikap dari Tanotos ini.
Kajian lebih lanjut dari sikap naluriah di atas, terdapat tiga pertimbangan di balik sikap seseorang dalam mengambil suatu tindakan, yaitu It, Ego, dan Super Ego. It memandang bahwa seseorang tergerak karena dukungan dari definisi kebahagiaan yang mereka miliki. Pandangan ini melihat bahwa Pleasure Principle diangkat sedemikian rupa sebagai alasan utama di balik sikap seseorang melakukan sesuatu. Meskipun dukungan keinginan dan ekspektasi amat tinggi melalui paradigma It, Ego akan melihat Reality Principle sebagai pembenaran. Sikap ini akan mencoba mengkorelasikan suatu sikap seseorang berdasarkan keadaan dan situasi. Lebih jauh, Super Ego akan mengkorelasikan desire dan realita kemampuan seseorang dalam melakukan sesuatu dengan Moral Standard yang hadir di masyarakat. Sehingga, seorang individu, acap kali, mempertimbangkan apa yang akan mereka lakukan berdasarkan beberapa konsiderasi di atas dan ekspresi suatu sikap sebagai hasilnya.
Selain kajian terkait Psikoanalisis yang diajukan oleh Freud di atas, terdapat Teori Environmentalism yang diusung oleh Watson. Pandangan ini percaya bahwa lingkungan adalah satu-satunya alasan dari reaksi lingkungan. Dari sini, manusia akan belajar dan menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana mereka hidup dan ini akan berimplikasi pada sikap sebagai produk akhirnya. Sebagai contoh, anak-anak yang tinggal di daerah sungai dan laut akan cenderung memilki kemampuan lebih handal dalam berenang daripada seseorang yang hidup di gurun pasir.
Salah satu lanjutan dari Teori Environmentalism adalah Social Learning Theory. Di dalam teori ini, masyarakat dipandang sebagai suatu model lingkungan. Implikasinya, seorang individu memiliki kecenderungan untuk mempelajari kebiasaan atau adat-istiadat dalam suatu masyarakat, memperhatikannya, kemudian mengingat dan menirukannya. Pada akhirnya, teori ini memandang bahwa motivasi utama di balik perilaku dan sikap seseorang didasarkan dari lingkungan social di mana dia belajar.
Terkait dua pandangan Freud dan Watson di atas, terdapat satu teori ketiga yang dikenal sebagai Grand Theory yang memiliki rumus :
B=P+E
Keterangan :
B = Behaviour
P = Personality
E = Environment
Paradigma ini memandang bahwa sikap seseorang didasarkan dari kepribadian, dipengaruhi oleh pengetahuan, motivasi, aspirasi, dan tingkat pendidikan yang seseorang milik, serta lingkungan di mana dia berada. Sehingga, secara sekilas, seolah Grand Theory ini merupakan rangkuman dari Teori yang diajukan oleh Freud yang lebih menonjolkan Personality seseorang dengan Watson yang mengedepankan pengaruh lingkungan sebagai alasan mendasar di balik seseorang melakukan sesuatu.